Salah satu hal yang menjadikan wilayah Asia Pasifik unik adalah di wilayah tersebut terdiri dari negara-negara yang memiliki kepentingan dan model politik yang bervariasi, budaya yang tergolong multikultural dan tingkatan ekonomi yang beragam. Varian tersebut menurut ABI Research berimplikasi pada ledakan gejolak keamanan siber yang dapat berimplikasi pada kemungkinan terjadinya berbagai macam serangan dan gangguan, baik yang merugikan bisnis ataupun birokrasi.
Cyber espionage adalah salah satu risiko yang memungkinkan tumbuh berkembang. Ini merupakan salah satu model cybercrime yang menyerang dengan memanfaatkan jaringan internet untuk melakukan kegiatan mata-mata. Tentu kita masih ingat kejadian beberapa waktu lalu, Indonesia menjadi salah satu korban dari model serangan ini. Ada juga yang disebut dengan cyber warfare, yang juga dinilai potensial akan banyak terjadi.
Cyber warfare mengacu pada sebuah strategi penggulingan pihak, dapat berupa negara ataupun bisnis, dengan memanfaatkan dan memanipulasi informasi yang tersebar melalui jaringan internet, dan mengacu pada eksploitasi informasi untuk suatu kepentingan.
Indonesia juga menjadi salah satu negara yang diindikasikan berisiko
Wabah potensi serangan siber tersebut sangat memungkinkan menyerang sektor pemerintahan suatu negara, bahkan hingga ke sektor swasta di suatu negara untuk kepentingan bisnis. Yang perlu mulai disisati, riset menunjukkan serangan siber tersebut juga ditargetkan di negara-negara dengan perteumbuhan industri ekonomi kreatif dan digital yang sedang bertumbuh. Tujuan dari serangan seiber tersebut rata-rata untuk memecah belah suatu kelompok dengan tujuan yang didasari oleh kepentingan politik dan keuntungan finansial.
Siapa sangka jika ancaman ini juga akan mewabah di negara berkembang. Meskipun dalam analisis ABI Research di Asia Pasifik wilayah Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan yang rentan dengan serangan siber, namun negara-negara di Asia Tenggara seperti Singapura, Indonesia, Malaysia dan Thailand juga terindikasi berpotensi terancam serangan tersebut.
Pemangku kebijakan dapat menjadi tameng terdepan
Untuk mengantisipasinya terjadinya risiko serangan siber tersebut, banyak pihak yang disarankan untuk mulai menyusun insiatif untuk meningkatkan kemanan infrastruktur nasional dan mempertimbangkan untuk melibatkan tim keamanan siber dalam berbagai hal. Kebutuhan ini sekaligus akan menjadi peluang baru untuk industri kemanan siber dalam beberapa tahun mendatang. Dalam laporannya ABI Research memprediksikan bahwa untuk menunjang kebutuhan tersebut, pembelanjaan sistem pengamanan infrastruktur siber di wilayah Asia Pasifik akan mencapai $22 Miliar di tahun 2020.
Pemerintah, khususnya Kominfo adalah salah satu komponen yang harus mulai kritis dan menyadari terntang potensi ancaman-ancaman tersebut. Indonesia adalah negara yang begitu potensial terancam serangan-serangan semacam tersebut. Berbagai kepentingan, baik politik, hukum, dan budaya di ranah internasional banyak yang melibatkan Indonesia. Jangan sampai kegiatan spionase tak wajar terjadi lagi di negara kita. Ekonomi yang sedang mulai membaik, industri kreatif yang terus bertumbuh, dan negara yang makin mandiri dapat menciptakan gesekan-gesekan berbagai kepentingan.
Salah satu langkah yang dapat mendorong sistem yang lebih aman ialah kebijakan yang mengamankan. Seperti peletakan server di dalam negeri, standar keamanan cloud yang mumpuni, dan sebagainya bisa mulai menjadi perhatian yang lebih serius. Model serangan siber bisa dikatan berefek secara native, terlihat begitu transparan, namun dapat memberikan dampak buruk yang luar biasa, terlebih bagi sebuah kepentingan nasional.
Keren banget artikelnya
BalasHapusJangan lupa baca blog aku
verdyanza.blogspot.com
Keren banget artikelnya
BalasHapusJangan lupa baca blog aku
verdyanza.blogspot.com